Pada 27 Agustus 1883 terjadi letusan amat dahsyat yang menghancurkan nyaris 60 persen bagian Krakatau di bagian tengah dan terbentuklah lubang kaldera. Letusan ini memiliki kekuatan 21.574 kali bom atom dan letusannya terdengar hingga radius 4.600 kilometer dari pusat ledakan bahkan suaranya dapat didengar oleh 13% penduduk bumi saat itu. Suara letusan itu terdengar sampai di Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues yang berjarak lebih dari 4.600 kilometer.

Letusan ini juga diikuti dengan tsunami yang menyapu lebih dari 295 daerah di pesisir pantai barat Banten, dari Merak, Anyer, Labuan, Panimbang, Ujung Kulon, Jawa Barat, Selatan Sumatera, Hawaii, pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya lebih dari 7 ribu kilometer. Awan panas dan tsunami yang ditimbulkan memakan korban sekitar 36.000 jiwa. Tsunami ini adalah yang terdahsyat di kawasan Samudera Indonesia sebeum Tsunami Aceh terjadi pada 26 Desember 2004.
Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim yang dirasakan secara global. Bumi gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutup atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York. Letusan itu menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan serta sebagian Gunung Rakata di mana setengah kerucutnya hilang, membuat cekungan selebar 7 km dan sedalam 250 meter.

Muncullah Anak Krakatau setelah 40 Tahun Gunung Krakatau meletus. Anak Krakatau dikenali pada 29 Desember 1927 ketika sejumlah nelayan menyaksikan ada uap dan abu muncul dari kaldera. Gunung ini bertambah tinggi 6 meter per tahun. Puncak dengan batuan basalt muncul ke permukaan air pertama kali pada 26 Januari 1928.
Apabila ingin mengunjungi gunung ini, dari Bandarlampung menuju ke Pelabuhan Bakauheni memakan waktu sekitar 1,5 jam, lanjut ke Pelabuhan Canti ke Pulau Sebesi sekitar 80 menit. Dari pulau inilah pengunjung bisa memulai titik pendakian menuju Gunung Anak Krakatau.